Minggu, 06 November 2016

Peran Panglima Perang (Ndugire) dalam Penyelesaian perang suku di papua

A.    Peranan Panglima Perang (Ndugire) dalam Penyelesaian Konflik
Filosofi dasar yang berlaku bagi penyelesaian perang suku masyarakat Nduga khususnya di distrik Yigi adalah bahwa manusia itu berharga dan sama, nilainya, sehingga kehilangan nyawa harus diganti dengan kehilangan nyawa pula. Atas dasar ini, syarat bagi penyelesaian sebuah perang (perdamaian) adalah jumlah korban kedua belah pihak harus sama. Pihak yang anggotanya menjadi korban atau jumlah korbannya lebih banyak, biasanya akan berusaha mencari taktik-taktik baru untuk membalasnya, hingga jumlah korban di kedua pihak sama baru akan ada perdamaian.


Sumber: Photo Konflik  Perang Suku Nduga Mei 2013

Seperti pada umumnya proses penyelesaian konflik dalam perang suku cara atau Langka–langka yang diambil oleh Ndugire dalam menyelesaikan konflik adalah sebagai berikut:
1.      Negosiasi
Negosiasi secara umum adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Dan juga negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal  yaitu suatu proses tawar menawar antara seorang pemimpin dengan seorang pemimpin yang lain dengan sebuah kesepakatan bersama dengan syarat-syarat tertentu. Untuk itu proses  negoisasi yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang bersengketa antara lain sebagai berikut:
1.      Proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara  satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak lain.
2.      Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang bersengketa.
3.      Langkah untuk membangun kesepahaman terhadap suatu permasalahan.
4.      Pembicaraan antara dua pihak atau lebih baik individual maupun kelompok untuk membahas usulan-usulan spesifik guna mencapai kesepakatan yang dapat diterima bersama.
Proses penyelesaian konflik di distrik Yigi sendiri sebagai mana dikemukana oleh  Yagobak Sabu sebagai tokoh masyarakat marga Sabu sebagai berikut :
“Peranan Panglima Perang (Ndugire) dalam penyelesaian konflik. ketika tidak ada  korban nyawa dari masing-masing pihak, proses negosiasi itu bisa dilakuan dengan syarat-syarat tertentu yakni membayar denda sesuai dengan permintaan pihak korban, namun pihak pelaku tidak mampu membayar sesuai permintaan tersebut maka pembayaran bisa stengahnya saja dan biasanya pihak korban akan menerima hal itu. Mereka  berpikir bahwa masalah suatu saat akan datang pada mereka juga “.(Wawancara Tanggal 18 Agustus 2012 ).

Senada dengan di atas Jago Kogoya mengatakan bahwa:
“Untuk menyelesaikan konflik selain dengan perang untuk mempertahankan identitas diri dalam kehidupan suatu komunitas. Juga dengan melalui negosiasi yaitu tawar menawar membayar denda sesuai dengan jumlah  kerugiannya, jika salah satu pihak pelaku mampu membayar sesuai dengan tawaran harga tersebut maka masalah bisa diselesaikan dengan aman.”. (Wawancara Tanggal 23 Aguatus 2012 ).

Dari pendapat di atas, peneliti dapat kemukan  bahwa desa Ekilapok distrik Yigi dalam penyelesaian konflik Panglima Perang Ndugire proses negosiasi bisa dilakukan jika tidak ada korban jiwa dari kedua belah pihak. Jika  ada korban dari salah satu pihak maka setelah sama-sama ada korban seimbang maka negosiasi itu bisa dilakukan untuk berdamai.
2.      Konsiliasi
Konsiliasi berasal dari kata Latin conciliatio atau perdamaian yaitu suatu cara untuk mempertemukan pihak-pihak yang berselisih guna mencapai persetujuan bersama untuk berdamai. Dalam proses pihak pihak yang berkepentingan dapat meminta bantuan pihak ke tiga. Namun dalam hal ini pihak ketiga tidak bertugas secara menyeluruh dan tuntas. Ia hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan yang dianggapnya baik kepada kedua pihak yang berselisih untuk menghentikan sengketanya.
Contoh kasus yang terjadi adalah perdamaian perang suku di distrik Yigi yang hadir dalam pertemuan konsiliasi ialah wakil dari masing-masing marga  serta pihak orang ketiga yaitu, jurudamai dari pihak pemimpin gereja dan Pemerintah Daerah (Pemda). Langkah-langkah yang diambil adalah memediasi kepada kedua belah pihak yang berkonflik dengan masukan-masukan dan pertimbangan agar kedua belah pihak masing-masing bisa terima. Tetapi yang harus mengambil keputusan untuk berdamai adalah pihak yang sedang konflik. Sebagaimana dikemukan oleh Ariggirok Kogoya sesepuh dari marga Kamgiriggi sebagai berikut :
Ndugire (Panglima Perang) adalah orang yang berani dalam memimpin pertempuran perang dan mampu memimpin warga-warganya dalam keadaan sulit. Sehingga  setiap marga memiliki kepala adat dan setiap kepala itu berperan sebagai pemimpin atau komandan, oleh karena itu dalam peperangan kepala pemimpin perang/Ndugire tersebut tidak bisa dibunuh, sebab ketika panglima perang tersebut dibunuh maka persoalan masalah tidak bisa diselesaikan dalam jangka waktu yang relatif dekat. Dan ketika dalam peperangan untuk menyelesaikan masalah yang bisa menyampaikan informasi kepada pihak lawan adalah panglima- panglimanya yang ada hubungan keluarga dengan pihak lawan”. (Wawancara Tanggal 28 Agustus 2012 ).

Dengan senada di atas ini Anini Sabu sebagai Hansip (penjaga keamanan masyarakat ) mengatakan bahwa :
“ Peranan Ndugire dalam penyelesaian konflik dia tidak bisa menjadi penengah melainkan memiliki posisi sama dengan yang lainnya.  Artinya, dia sama halnya dengan seorang komandan dalam pertempuran perang, sehingga peranannya ketika berperang tetap sebagai musuh oleh pihak lawan namun dia tidak bisa dibunuh hanya melukai saja. Sebab ketika Ndugire dibunuh maka perang tidak akan selesai dalam waktu yang cepat dan bisa berkonflik hingga berbulan-bulan lamanya.” (Wawancara Tanggal 22 Agustus 2012 ).

Dari pendapat diatas, peneliti dapat kemukakan bahwa seorang (Ndugire) memiliki kekuasaan besar untuk penyelesaian masalah namun untuk memberikan masukan kepada seorang Ndugire yaitu melalui pertemuan secara rahasia oleh semua keluarganya dan mempertimbangkan hal-hal yang menyangkut dengan normanorma dan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat setempat. Setelah  itu,  Ndugire akan melakukan negosiasi untuk penyelesaian masalah.
Kemudian tentang larangan membunuh Ndugire, didasarkan atas pemikiran bahwa ujung dari sebuah perang pasti ada proses penyelesaian. Seorang Ndugire adalah pemegang peran kunci dalam proses penyelesaian konflik. Sebab Ndugire yang akan berbicara dan mengamankan situasi, Ndugire jugalah yang akan memberikan ganti-rugi dengan melakukan bayar kepala para prajurit, baik di pihaknya maupun dipihak musuh yang menjadi korban perang. Khusus untuk persoalan bayar-kepala ini, ada dua kondisi yang menjadi prasyarat: Petama, bayar-kepala akan dilakukan kepada pihak musuh jika pihak musuh menyepakati berdamai meski jumlah prajurit yang mati di pihak musuh berjumlah  lebih. Kedua, bayar-kepala akan dilakukan hanya kepada prajurit yang sebenarnya adalah orang-orang yang bergabung karena rasa solider, meski mereka bukan penyebab peperangan.
Selain hukum perang dan alasannya seperti digambarkan di atas, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pada prinsipnya, menurut orang Nduga, manusia itu saling membutuhkan dan ada ketergantungan hidup antara satu sama lain, sehingga setelah perang berakhir pun, pasti mereka hidup saling membutuhkan, saling memberikan anak perempuan untuk diperistri diantara para pemuda suku Nduga, berbisnis kembali, bersahabat dan sebagainya. Karena itu, tidak heran jika ketika perang telah lama usai, mereka yang tadinya saling bermusuhan dalam sebuah perang, dapat berkumpul kembali dalam sebuah diskusi atau senda-gurau. Bahkan dalam kesempatan itu, biasannya ada salah seorang yang tanpa beban dapat mengakui kepada orang lain (temannya) yang ada di situ juga, bahwa dirinya yang memanah sehingga menimbulkan bekas luka pada temannya itu, lalu setelah mengetahui hal itu, dua orang itu malah saling tertawa (merasa lucu), tanda tidak ada dendam di antara mereka. Kebiasaan seperti ini biasanya terjadi dalam masyarakat suku Nduga setelah melakukan peperangan di antara mereka.
 Hal tersebut bisa terjadi karena dalam peperangan antarsuku biasanya dalam satu keluarga tidak semua orang menjadi lawan melainkan  mereka akan berbagi orang yaitu, yang lain ikut pihak sebelah dan yang lain ikut pihak sebelah. Misalnya, perang antarkeluarga dari dari sang ayah dan sang ibu secara otomatis anakanak tersebut ikut pihak dari keluarga dari ayah dan yang lain akan ikut pihak dari sang ibu. Tujuannya  agar bisa bernegosiasi dan masalah bisa selesaikan dengan cepat. Namun ketika sudah dalam peperangan tidak akan ada lagi istilah keluarga. Yang ada hanya musuh, ibarat orang bermain dalam pertandingan sepakbola.

3.      Koersi
Koersi ialah suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan paksaan fisik atau pun psikologis. Bila paksaan psikologis tidak berhasil, dipakailah paksaan fisik. Pihak yang biasa menggunakan paksaan adalah pihak yang kuat, pihak yang merasa yakin menang, bahkan sanggup menghancurkan pihak musuh. Pihak inilah yang menentukan syarat-syarat untuk menyerah dan berdamai yang harus diterima pihak yang lemah. Cara semacam ini juga sering dilakukan oleh dalam penyelesaian perang suku. Jika pihak yang merasa menang akan menawarkan solusi untuk selesai dengan membayar denda, bila pihak lawan tidak mau tetap melawan maka solusi yang diambil oleh pihak yang menang adalah menyerang dan menghancurkan semua milik harta dan benda hingga musuh melarikan diri ke tempat kerabat suku yang lain. Sebagaimana dikemukakan oleh Kesanggen Gwijangge sebagai berikut:

Ketika dalam perang suku musuh tidak mau menerima tawaran yang ditawarkan  oleh pihak yang menjadi korban untuk membayar denda, biasanya cara yang dilakukan pihak yang merasa korban dengan kekuatan pasukannya adalah mengancurkan semua milik lawan yakni, hewan, rumah, anak kecil, ibu-ibu dan orang tua, hingga yang lain melarikan diri ke wilayah kerabat suku yang lain untuk perlindungan diri dari ancaman dan mereka tidak akan kembali lagi ke daerah mereka.” (Wawancara Tanggal 11 September 2012).

Senada dengan di atas Seky Gwijangge mengemukakan bahwa:

Penyelesaian dengan cara kekerasan yang pernah terjadi dalam perang suku Nduga adalah perang Suguru di distrik Yigi dalam sejarah suku Nduga pertama dan terakhir ”Suguru Wim. Perang  ini menewaskas banyak orang dan yang lain melarikan diri ke daerah lain, seperti: Intan Jaya, Timika, Puncak Jaya, Puncak Papua, Wamena hingga ke daerah yang lain”.(Wawancara Tanggal 15 Oktober 2012).

Dari pendapat di atas peneliti dapat kemukakan bahwa proses penyelesaian dengan cara kekerasan tersebut sebagai bentuk akumulasi dari kekecewaan dari pihak yang merasa korban lalu membalas dengan menghancurkan harta dan benda. Namun cara seperti ini hanya bisa dilakukan jika pihak musuh tidak mau menerima beban yang diberikan oleh pihak korban dan pihak pelaku tetap mengotot untuk melawan. Dan kemungkinan masalah bisa timbul kembali di daerah yang lain, seperti: masalah perempuan dan jabatan.

B.     Kelebihan Penyelesaian Konflik oleh Panglima Perang (Ndugire)
Setelah terjadi konflik, adapun kelebihan yang dimiliki oleh Ndugire dalam penyelesaian konflik yaitu  dikenal dengan cara pindok-ndok atau (makan bersama). Pindok-ndok ini dilakukan akhir dari sebuah proses permasalahan perang yang terjadi agar semua orang menjadi saksi bahwa masalah sudah selesai dan tidak ada lagi. Penyelesaian  ini biasanya dilakukan dengan musyawarah agar setiap orang mengetahui atau menjadi saksi bahwa masalah tersebut sudah selesai. Sebab jika permasalahan yang ada belum diselesaikan dengan pindok-ndok berarti masalah tersebut belum tuntas dan kemungkinan akan muncul kembali. Setiap permasalah yang muncul tidak di tangani dengan baik dari awal biasanya sangat berpotensi konflik.
Kelebihan yang dimilki oleh seorang Ndugire yaitu sebagai berikut:
1.      Berani bertanggung jawab masalah yang dibuat dan tidak lari dari masalah.
2.      Berani mengambil keputusan dalam keadaan sulit
3.      Kualitas pembicaraan yang baik
4.      kepandaian diplomasi
5.      Bersikap lemah lembut kepada semua orang  tanpa memandang besar kecil status
6.      Mengetahui segala persoalan masalah baik mapun buruk.
7.        Semua kerugian materil maupun nonmateril baik korban dipihaknya maupun pihak musush menjadi tanggung jawabnya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Nus Murib sebagai berkiut:
Ndugire adalah seorang yang memilki masalah sehingga untuk melakukan negosiasi dengan Ndugire di pihak musuhnya adalah wene wile (pemberi informasi). Wene wile berfungsi sebagai pemberi informasi untuk mengetahui masing-masing pihak bagaimana masalah itu bisa ditanggani dengan baik. Kelebihan seorang Ndugire yaitu berani bertanggung jawab tidak lari dari dalam mengadapi masalah.”
( Wawancara tanggal 20 oktober 2012 )

Senada dengan di atas Yeki Kogoya mengemukakan  sebagai berikut:
Cara mengakhiri konflik yaitu dengan cara pindok-ndok (makan bersama ) oleh masing-masing Ndugire sebagai tanda bukti bahwa masalah sudah selesai dan tidak akan terjadi masalah. Setelah melakukan dengan cara pindok-ndok saat itu juga  lawan menjadi kawan dan makan minum bersama sambil bercanda antara satu dengan yang lainnya. (Wawancara tanggal 22 mei  2013).


C.    Kelemahan Penyelesaian Konflik oleh Panglima Perang (Ndugire)
Semua masyarakat percaya bahwa perang suku baru akan berhenti ketika pihak-pihak yang bertikai melakukan pembayaran ganti rugi kepada pihak korban disertai upacara bakar batu.  Pengakuan terhadap nilai-nilai kultural serta digunakannya nilai-nilai tersebut untuk menyelesaikan perang suku, tentu merpakan suatu hal yang sangat penting dan bermanfaat. Terbukti, suatu perang suku baru bisa dihentikan ketika pokok perang membayar ganti rugi serta upacara bakar batu dilaksanakan. Akan tetapi pola penanganan semacam ini punya satu kelemahan yang mendasar, yaitu pola penanganan bersifat parsial. Artinya, penanganan semacam ini hanya efektif untuk satu kasus. Ketika kasus yang lain muncul maka perang akan muncul kembali.
Kelemahan ini sudah terbukti dalam sejarah. Meskipun perdamaian secara adat telah sering dilakukan untuk menghentikan dan mendamaikan pihak-pihak yang terlibat dalam perang suku, akan tetapi ketika masalah yang baru muncul maka perang kembali terjadi. Kenyataan seperti ini memperlihatkan bahwa upacara membayar ganti rugi dan upacara bakar batu bukan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat preventif. Padahal, ketika perang dilihat sebagai sesuatu yang negative, diperlukan suatu mekanisme penyelesaian perang suku yang bersifat preventif sehingga perang tidak terus menerus terulang. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Abraham Kogoya sebagai berikut:
Satu kelemahan yang dimiliki oleh penyelesaian konflik dengan proses bakar batu adalah penyelesaian  hanya satu kasus. Ketika ada masalah baru maka akan seperti yang sudah diterangkan di atas yakni akan lakukan bakar lagi. Artinya masalah penyelesaian dengan bakar batu hanya satu kasus saja (Wawancara Tanggal 29 Oktober 2012 ).

Senada dengan di atas Anini Sabu mengemukakan sebagai berikut:
Ketika seorang Ndugire tidak bisa bertanggung jawab dengan semua peristiwa itu lalu tidak membayar denda maka dia dan semua keturunan akan mati dengan sendiri. Hal ini sudah terbukti dan menjadi kepercayaan masyarakat, oleh karena itu apapun yang terjadi seorang Ndugire harus bertanggung jawab dengan masalah yang dia berbuat (Wawancara Tanggal 23 Agustus 2012).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar