Kamis, 17 November 2016

Ketidakadilan Hukum Di Indonesia

Dewasa ini, negara-negara yang sedang berkembang dijadikan objek kekuasaan otoriter kaum kapitalis. Seperti halnya kondisi dunia ekonomi dan politik, begitu juga halnya dengan dunia hukum mengalami krisis berat. Krisis di bidang hukum kebanyakan terjadi pada tingkat prakter pelaksanaan yang tidak membuahkan nilai keadilan. Mengapa hal ini terjadi? kasus penegakan hukum di indonesia merupakan suatu contoh representative ketidakadilan hukum. Di Indonesia, penegakan hukum dilaksanakan secara tidak adil. Perampok seekor ayam dijatuhi hukuman 3 tahun penjarah, sedangkan perampok kekayaan negara sistematis memperkaya dirinya dengan miliaran bahkan triliunan rupiah hanya divonis 3 (tiga) bulan penjarah dengan fasilitias penjara seperti layaknya di sebuah hotel.
            Hukum di Indonesia kelihatannya cenderung membiarkan kejahatan dan mewaspadai kebaikan dan kejujuran. Mereka yang jujur justru tersungkur, dan mereka yang jahat justru selamat dan bahkan diangkat menjadi pejabat. Apakah system kehidupan bernegara di negeri Pancasila ini sudah beraliran premanisme”? jika premanisme telah  menggeser filosofi Pancasila, azas keadilan hukum, yaitu harmonisasi antara hak dan kewajiban, pasti tidak biaa berjalan normal. Disharmoni antara hak dan kewajiban pasti mengakibatkan “social disorder” lembaga hukum formal tidak berfungsi , dan memungkunkan tumbuhnya lembaga hukum dan peradilan “Jalanan”






Minggu, 06 November 2016

Peran Panglima Perang (Ndugire) dalam Penyelesaian perang suku di papua

A.    Peranan Panglima Perang (Ndugire) dalam Penyelesaian Konflik
Filosofi dasar yang berlaku bagi penyelesaian perang suku masyarakat Nduga khususnya di distrik Yigi adalah bahwa manusia itu berharga dan sama, nilainya, sehingga kehilangan nyawa harus diganti dengan kehilangan nyawa pula. Atas dasar ini, syarat bagi penyelesaian sebuah perang (perdamaian) adalah jumlah korban kedua belah pihak harus sama. Pihak yang anggotanya menjadi korban atau jumlah korbannya lebih banyak, biasanya akan berusaha mencari taktik-taktik baru untuk membalasnya, hingga jumlah korban di kedua pihak sama baru akan ada perdamaian.


Sumber: Photo Konflik  Perang Suku Nduga Mei 2013

Seperti pada umumnya proses penyelesaian konflik dalam perang suku cara atau Langka–langka yang diambil oleh Ndugire dalam menyelesaikan konflik adalah sebagai berikut:
1.      Negosiasi
Negosiasi secara umum adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Dan juga negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal  yaitu suatu proses tawar menawar antara seorang pemimpin dengan seorang pemimpin yang lain dengan sebuah kesepakatan bersama dengan syarat-syarat tertentu. Untuk itu proses  negoisasi yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang bersengketa antara lain sebagai berikut:
1.      Proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara  satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak lain.
2.      Penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang bersengketa.
3.      Langkah untuk membangun kesepahaman terhadap suatu permasalahan.
4.      Pembicaraan antara dua pihak atau lebih baik individual maupun kelompok untuk membahas usulan-usulan spesifik guna mencapai kesepakatan yang dapat diterima bersama.
Proses penyelesaian konflik di distrik Yigi sendiri sebagai mana dikemukana oleh  Yagobak Sabu sebagai tokoh masyarakat marga Sabu sebagai berikut :
“Peranan Panglima Perang (Ndugire) dalam penyelesaian konflik. ketika tidak ada  korban nyawa dari masing-masing pihak, proses negosiasi itu bisa dilakuan dengan syarat-syarat tertentu yakni membayar denda sesuai dengan permintaan pihak korban, namun pihak pelaku tidak mampu membayar sesuai permintaan tersebut maka pembayaran bisa stengahnya saja dan biasanya pihak korban akan menerima hal itu. Mereka  berpikir bahwa masalah suatu saat akan datang pada mereka juga “.(Wawancara Tanggal 18 Agustus 2012 ).

Senada dengan di atas Jago Kogoya mengatakan bahwa:
“Untuk menyelesaikan konflik selain dengan perang untuk mempertahankan identitas diri dalam kehidupan suatu komunitas. Juga dengan melalui negosiasi yaitu tawar menawar membayar denda sesuai dengan jumlah  kerugiannya, jika salah satu pihak pelaku mampu membayar sesuai dengan tawaran harga tersebut maka masalah bisa diselesaikan dengan aman.”. (Wawancara Tanggal 23 Aguatus 2012 ).

Dari pendapat di atas, peneliti dapat kemukan  bahwa desa Ekilapok distrik Yigi dalam penyelesaian konflik Panglima Perang Ndugire proses negosiasi bisa dilakukan jika tidak ada korban jiwa dari kedua belah pihak. Jika  ada korban dari salah satu pihak maka setelah sama-sama ada korban seimbang maka negosiasi itu bisa dilakukan untuk berdamai.
2.      Konsiliasi
Konsiliasi berasal dari kata Latin conciliatio atau perdamaian yaitu suatu cara untuk mempertemukan pihak-pihak yang berselisih guna mencapai persetujuan bersama untuk berdamai. Dalam proses pihak pihak yang berkepentingan dapat meminta bantuan pihak ke tiga. Namun dalam hal ini pihak ketiga tidak bertugas secara menyeluruh dan tuntas. Ia hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan yang dianggapnya baik kepada kedua pihak yang berselisih untuk menghentikan sengketanya.
Contoh kasus yang terjadi adalah perdamaian perang suku di distrik Yigi yang hadir dalam pertemuan konsiliasi ialah wakil dari masing-masing marga  serta pihak orang ketiga yaitu, jurudamai dari pihak pemimpin gereja dan Pemerintah Daerah (Pemda). Langkah-langkah yang diambil adalah memediasi kepada kedua belah pihak yang berkonflik dengan masukan-masukan dan pertimbangan agar kedua belah pihak masing-masing bisa terima. Tetapi yang harus mengambil keputusan untuk berdamai adalah pihak yang sedang konflik. Sebagaimana dikemukan oleh Ariggirok Kogoya sesepuh dari marga Kamgiriggi sebagai berikut :
Ndugire (Panglima Perang) adalah orang yang berani dalam memimpin pertempuran perang dan mampu memimpin warga-warganya dalam keadaan sulit. Sehingga  setiap marga memiliki kepala adat dan setiap kepala itu berperan sebagai pemimpin atau komandan, oleh karena itu dalam peperangan kepala pemimpin perang/Ndugire tersebut tidak bisa dibunuh, sebab ketika panglima perang tersebut dibunuh maka persoalan masalah tidak bisa diselesaikan dalam jangka waktu yang relatif dekat. Dan ketika dalam peperangan untuk menyelesaikan masalah yang bisa menyampaikan informasi kepada pihak lawan adalah panglima- panglimanya yang ada hubungan keluarga dengan pihak lawan”. (Wawancara Tanggal 28 Agustus 2012 ).

Dengan senada di atas ini Anini Sabu sebagai Hansip (penjaga keamanan masyarakat ) mengatakan bahwa :
“ Peranan Ndugire dalam penyelesaian konflik dia tidak bisa menjadi penengah melainkan memiliki posisi sama dengan yang lainnya.  Artinya, dia sama halnya dengan seorang komandan dalam pertempuran perang, sehingga peranannya ketika berperang tetap sebagai musuh oleh pihak lawan namun dia tidak bisa dibunuh hanya melukai saja. Sebab ketika Ndugire dibunuh maka perang tidak akan selesai dalam waktu yang cepat dan bisa berkonflik hingga berbulan-bulan lamanya.” (Wawancara Tanggal 22 Agustus 2012 ).

Dari pendapat diatas, peneliti dapat kemukakan bahwa seorang (Ndugire) memiliki kekuasaan besar untuk penyelesaian masalah namun untuk memberikan masukan kepada seorang Ndugire yaitu melalui pertemuan secara rahasia oleh semua keluarganya dan mempertimbangkan hal-hal yang menyangkut dengan normanorma dan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat setempat. Setelah  itu,  Ndugire akan melakukan negosiasi untuk penyelesaian masalah.
Kemudian tentang larangan membunuh Ndugire, didasarkan atas pemikiran bahwa ujung dari sebuah perang pasti ada proses penyelesaian. Seorang Ndugire adalah pemegang peran kunci dalam proses penyelesaian konflik. Sebab Ndugire yang akan berbicara dan mengamankan situasi, Ndugire jugalah yang akan memberikan ganti-rugi dengan melakukan bayar kepala para prajurit, baik di pihaknya maupun dipihak musuh yang menjadi korban perang. Khusus untuk persoalan bayar-kepala ini, ada dua kondisi yang menjadi prasyarat: Petama, bayar-kepala akan dilakukan kepada pihak musuh jika pihak musuh menyepakati berdamai meski jumlah prajurit yang mati di pihak musuh berjumlah  lebih. Kedua, bayar-kepala akan dilakukan hanya kepada prajurit yang sebenarnya adalah orang-orang yang bergabung karena rasa solider, meski mereka bukan penyebab peperangan.
Selain hukum perang dan alasannya seperti digambarkan di atas, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pada prinsipnya, menurut orang Nduga, manusia itu saling membutuhkan dan ada ketergantungan hidup antara satu sama lain, sehingga setelah perang berakhir pun, pasti mereka hidup saling membutuhkan, saling memberikan anak perempuan untuk diperistri diantara para pemuda suku Nduga, berbisnis kembali, bersahabat dan sebagainya. Karena itu, tidak heran jika ketika perang telah lama usai, mereka yang tadinya saling bermusuhan dalam sebuah perang, dapat berkumpul kembali dalam sebuah diskusi atau senda-gurau. Bahkan dalam kesempatan itu, biasannya ada salah seorang yang tanpa beban dapat mengakui kepada orang lain (temannya) yang ada di situ juga, bahwa dirinya yang memanah sehingga menimbulkan bekas luka pada temannya itu, lalu setelah mengetahui hal itu, dua orang itu malah saling tertawa (merasa lucu), tanda tidak ada dendam di antara mereka. Kebiasaan seperti ini biasanya terjadi dalam masyarakat suku Nduga setelah melakukan peperangan di antara mereka.
 Hal tersebut bisa terjadi karena dalam peperangan antarsuku biasanya dalam satu keluarga tidak semua orang menjadi lawan melainkan  mereka akan berbagi orang yaitu, yang lain ikut pihak sebelah dan yang lain ikut pihak sebelah. Misalnya, perang antarkeluarga dari dari sang ayah dan sang ibu secara otomatis anakanak tersebut ikut pihak dari keluarga dari ayah dan yang lain akan ikut pihak dari sang ibu. Tujuannya  agar bisa bernegosiasi dan masalah bisa selesaikan dengan cepat. Namun ketika sudah dalam peperangan tidak akan ada lagi istilah keluarga. Yang ada hanya musuh, ibarat orang bermain dalam pertandingan sepakbola.

3.      Koersi
Koersi ialah suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan paksaan fisik atau pun psikologis. Bila paksaan psikologis tidak berhasil, dipakailah paksaan fisik. Pihak yang biasa menggunakan paksaan adalah pihak yang kuat, pihak yang merasa yakin menang, bahkan sanggup menghancurkan pihak musuh. Pihak inilah yang menentukan syarat-syarat untuk menyerah dan berdamai yang harus diterima pihak yang lemah. Cara semacam ini juga sering dilakukan oleh dalam penyelesaian perang suku. Jika pihak yang merasa menang akan menawarkan solusi untuk selesai dengan membayar denda, bila pihak lawan tidak mau tetap melawan maka solusi yang diambil oleh pihak yang menang adalah menyerang dan menghancurkan semua milik harta dan benda hingga musuh melarikan diri ke tempat kerabat suku yang lain. Sebagaimana dikemukakan oleh Kesanggen Gwijangge sebagai berikut:

Ketika dalam perang suku musuh tidak mau menerima tawaran yang ditawarkan  oleh pihak yang menjadi korban untuk membayar denda, biasanya cara yang dilakukan pihak yang merasa korban dengan kekuatan pasukannya adalah mengancurkan semua milik lawan yakni, hewan, rumah, anak kecil, ibu-ibu dan orang tua, hingga yang lain melarikan diri ke wilayah kerabat suku yang lain untuk perlindungan diri dari ancaman dan mereka tidak akan kembali lagi ke daerah mereka.” (Wawancara Tanggal 11 September 2012).

Senada dengan di atas Seky Gwijangge mengemukakan bahwa:

Penyelesaian dengan cara kekerasan yang pernah terjadi dalam perang suku Nduga adalah perang Suguru di distrik Yigi dalam sejarah suku Nduga pertama dan terakhir ”Suguru Wim. Perang  ini menewaskas banyak orang dan yang lain melarikan diri ke daerah lain, seperti: Intan Jaya, Timika, Puncak Jaya, Puncak Papua, Wamena hingga ke daerah yang lain”.(Wawancara Tanggal 15 Oktober 2012).

Dari pendapat di atas peneliti dapat kemukakan bahwa proses penyelesaian dengan cara kekerasan tersebut sebagai bentuk akumulasi dari kekecewaan dari pihak yang merasa korban lalu membalas dengan menghancurkan harta dan benda. Namun cara seperti ini hanya bisa dilakukan jika pihak musuh tidak mau menerima beban yang diberikan oleh pihak korban dan pihak pelaku tetap mengotot untuk melawan. Dan kemungkinan masalah bisa timbul kembali di daerah yang lain, seperti: masalah perempuan dan jabatan.

B.     Kelebihan Penyelesaian Konflik oleh Panglima Perang (Ndugire)
Setelah terjadi konflik, adapun kelebihan yang dimiliki oleh Ndugire dalam penyelesaian konflik yaitu  dikenal dengan cara pindok-ndok atau (makan bersama). Pindok-ndok ini dilakukan akhir dari sebuah proses permasalahan perang yang terjadi agar semua orang menjadi saksi bahwa masalah sudah selesai dan tidak ada lagi. Penyelesaian  ini biasanya dilakukan dengan musyawarah agar setiap orang mengetahui atau menjadi saksi bahwa masalah tersebut sudah selesai. Sebab jika permasalahan yang ada belum diselesaikan dengan pindok-ndok berarti masalah tersebut belum tuntas dan kemungkinan akan muncul kembali. Setiap permasalah yang muncul tidak di tangani dengan baik dari awal biasanya sangat berpotensi konflik.
Kelebihan yang dimilki oleh seorang Ndugire yaitu sebagai berikut:
1.      Berani bertanggung jawab masalah yang dibuat dan tidak lari dari masalah.
2.      Berani mengambil keputusan dalam keadaan sulit
3.      Kualitas pembicaraan yang baik
4.      kepandaian diplomasi
5.      Bersikap lemah lembut kepada semua orang  tanpa memandang besar kecil status
6.      Mengetahui segala persoalan masalah baik mapun buruk.
7.        Semua kerugian materil maupun nonmateril baik korban dipihaknya maupun pihak musush menjadi tanggung jawabnya.
Sebagaimana dikemukakan oleh Nus Murib sebagai berkiut:
Ndugire adalah seorang yang memilki masalah sehingga untuk melakukan negosiasi dengan Ndugire di pihak musuhnya adalah wene wile (pemberi informasi). Wene wile berfungsi sebagai pemberi informasi untuk mengetahui masing-masing pihak bagaimana masalah itu bisa ditanggani dengan baik. Kelebihan seorang Ndugire yaitu berani bertanggung jawab tidak lari dari dalam mengadapi masalah.”
( Wawancara tanggal 20 oktober 2012 )

Senada dengan di atas Yeki Kogoya mengemukakan  sebagai berikut:
Cara mengakhiri konflik yaitu dengan cara pindok-ndok (makan bersama ) oleh masing-masing Ndugire sebagai tanda bukti bahwa masalah sudah selesai dan tidak akan terjadi masalah. Setelah melakukan dengan cara pindok-ndok saat itu juga  lawan menjadi kawan dan makan minum bersama sambil bercanda antara satu dengan yang lainnya. (Wawancara tanggal 22 mei  2013).


C.    Kelemahan Penyelesaian Konflik oleh Panglima Perang (Ndugire)
Semua masyarakat percaya bahwa perang suku baru akan berhenti ketika pihak-pihak yang bertikai melakukan pembayaran ganti rugi kepada pihak korban disertai upacara bakar batu.  Pengakuan terhadap nilai-nilai kultural serta digunakannya nilai-nilai tersebut untuk menyelesaikan perang suku, tentu merpakan suatu hal yang sangat penting dan bermanfaat. Terbukti, suatu perang suku baru bisa dihentikan ketika pokok perang membayar ganti rugi serta upacara bakar batu dilaksanakan. Akan tetapi pola penanganan semacam ini punya satu kelemahan yang mendasar, yaitu pola penanganan bersifat parsial. Artinya, penanganan semacam ini hanya efektif untuk satu kasus. Ketika kasus yang lain muncul maka perang akan muncul kembali.
Kelemahan ini sudah terbukti dalam sejarah. Meskipun perdamaian secara adat telah sering dilakukan untuk menghentikan dan mendamaikan pihak-pihak yang terlibat dalam perang suku, akan tetapi ketika masalah yang baru muncul maka perang kembali terjadi. Kenyataan seperti ini memperlihatkan bahwa upacara membayar ganti rugi dan upacara bakar batu bukan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat preventif. Padahal, ketika perang dilihat sebagai sesuatu yang negative, diperlukan suatu mekanisme penyelesaian perang suku yang bersifat preventif sehingga perang tidak terus menerus terulang. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Abraham Kogoya sebagai berikut:
Satu kelemahan yang dimiliki oleh penyelesaian konflik dengan proses bakar batu adalah penyelesaian  hanya satu kasus. Ketika ada masalah baru maka akan seperti yang sudah diterangkan di atas yakni akan lakukan bakar lagi. Artinya masalah penyelesaian dengan bakar batu hanya satu kasus saja (Wawancara Tanggal 29 Oktober 2012 ).

Senada dengan di atas Anini Sabu mengemukakan sebagai berikut:
Ketika seorang Ndugire tidak bisa bertanggung jawab dengan semua peristiwa itu lalu tidak membayar denda maka dia dan semua keturunan akan mati dengan sendiri. Hal ini sudah terbukti dan menjadi kepercayaan masyarakat, oleh karena itu apapun yang terjadi seorang Ndugire harus bertanggung jawab dengan masalah yang dia berbuat (Wawancara Tanggal 23 Agustus 2012).


Sabtu, 05 November 2016

Peranan Kepala Suku Dalam Suku Nduga Sebelum Hadirnya Gereja Dan Pemerintah Di Kabupaten Nduga

Suku Nduga adalah salah satu suku yang berdomisili di daerah pegunungan tengah papua.dulunya masyarakat suku nduga termasuk dalam kabupaten wamena namun dengan adanya otonomi khusus suku nduga mekarkan diri ndari kabupaten induk tahun 2007/2008 dengan nama kabupaten Nduga .keberadaan wilayah  suku Nduga berada sekitar ketinggian 4.500 m dpl. di atas permukaan laut .sebagaian wilayah ini terdiri dari gunung,bukit berbatu,lembah,jurang.dan pantai membentang dari timur ke barat( kingsley Mei 20011)
.Asal mulanya suku Nduga tergolong dalam satu kategori sub suku besar dari suku dani yang di dalamnya terdapat beberapa sub-sub suku yaitu:
  1.  Sub suku Lani
  2.  Sub suku Yali      
  3. sub  suku Ngalik
  4.  sub suku Nayak
  5.  Sub suku Nduga
          Konon mereka adalah turunan dari satu keluarga ,menurut mitologi suku Dani,maupun serluruh suku yang ada di daerah pegunungan tengah mereka berasal dari satu keturunan nenekmoyang yang berasal dari hetigima ,bahwa manusia pertama mucul dari sebuah gua daerah maima yaitu wita dan waya .tapi karena sejarah konsepsi religi manusia baliem adalah rahasia bagi orang lain,apalagi orang luar,maka penyebutan dari lokasi tersebut adalah suatu kerahasiaan masing-masing marga.sebagian menyebut manusia awal mula muncul dari wesaput kini kecamatan hitigima dekat muara sungai baliem.Masing-masing marga mengakui daerah dan tempat keramatnya sebagai asal dan awal mula manusia pertama mucul di daerah lembah baliem/hitigima.tapi mereka umumnya mengakui dan merahasiakan pada orang lain ,dari keturunanya,yang bersifat patrineal.orang tua yang lebih mengetahui,mengtakan bahwa”manusia muncul awal mula dimuara sungai baliem dan Eagima”.tempat itu kini ditutupi oleh sungai Eagima.nama daerah  itu kini disebut dengan nama:”wesapot,yang artinya di belakang keramat “/rahasia dari ada”.terdirdari dua kata :wesa=’keramat/rahasia/tidak bleh “.Apot = “dibelakang ,’tertutup(rahasia)”. Jadi wesapot artinya=”dibelakang semua (rahasia),atau”dibalik
Rahasia”.(sumber data :dari orang-orang tua  )
          Setelah mereka keluar dari lubang goa tersebut mereka tinggal di daerah sekitar goa  dan membuka lahan dan beranak cucu ,dengan bertambahnya anggota keluarga.terjadilah perebutan lahan antar mereka dan  mereka berpencar ke wilayah-wilayah lain dan membentuk sub-sub suku sendiri –sendiri sesuai dengan daerah yang di datanginya kecuali suku dani lembah baliem, orang Nduga juga ikut meninggalkan lembah baliem dan mereka pergi ke arah selatan ikut kali welesi, dalam perjalanan mereka hanya membawa anak panah tidak membawa bekal apapun .perjalana mereka dari  prime ,keyawagi ,kemudian menginjak kaki di distrik yigi.sesudah tiba di yigi mereka hanya membuka lahan lalu lanjut ke mbua .di mbua mereka bertemu dengan seorang tua badan berbulu sedang kedinginan ,ketika melihat orang tua  itu mereka membuat api lalu mengangatkan dia dan melanjutkan perjalan mereka ke daerah mbua tenga ,dari mbua tenga kembali ke yigi .dari yigi kemudian mereka  pergi ke daerah lain akibat adanya perebutan lahan .daerah tersebut seperti mapenduma,mugi ,gearek,geselma,kenyam ,dan daerah lainnya. sedang suku Nduga yang di intan jaya ,timika,puncak jaya,merauke,wamena .mereka pergi sekitar tahun 70 an akibat perang suku di kampung .
,         sebenanya sebutan orang lembah baliem unutk orang Nduga yaitu”siar meke”yang artinya orang hutan/orang yang tidak bisa kompromi. kata Nduga sendiri muncul ketika sudah meninggakan lembah baliem dan menetap di daerah-daerah yang sudah disebutkan di atas.Suku Nduga pada umumnya mempunyai ciri khas tertentu dalam pembawahan hidupnya yang dipengaruhi oleh nenekmoyang hingga sekarang yaitu berwatak keras dan tidak mau mengalah tetap pada pendiriannya /tidak bisa dipengaruhi oleh dari luar  .orang Nduga secara cultur mempunyai kelebihan tersendiri dari suku-suku yang ada di daerah pegunungan tengah yaitu mereka di ibaratkan sama halnya dengan” bunglon”cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana mereka tinggal baik bahasa maupun adat istiadat suku yang lain.orang Nduga secara tradisional disebelah timur berbatasan dengan kabupaten yahukimo,dan wamena,disebelah barat dengan kabupaten puncak papua dan puncak jaya disebelah selatan dengan agats,masyarakat suku Nduga bahasa sehari-hari mereka menggunakan bahasa Nduga ,bahasa ini termasuk keluarga bahasa Melanesia dan bahasa papua .suku Nduga sebagai suku minoritas dari 360an suku –suku yang ada di seleruh tanah papua baik dari pegunungan maupun pesisir .  

         Di dalam masyarakat tradisional suku Nduga membentuk suatu kampung yang merupakan persekutuan hukum adat.mereka hidup menetap di daerah-daerah yang sudah disebutkan di atas .sejak meninggalkan lembah baliem dari nenekmoyang hingga sekarang secara berkelompok ,tingkat kekerabatan mereka sangat kuat,suka tolong menolong dan saling bergantung pada satu sama yang lainnya dalam memenuhi kebutuhan mereka.susunan masyarakat yang terdiri dari susunan kekeluargaan yang disebut faktor genologis dan factor teritorial berdasarkan pada hubungan bersama pada suatu daerah yang disebut sebagai daerah kekuasaan dengan di kepalai oleh salah seseorang yang di sebut kepala suku.

Kepala suku adalah orang yang berani dalam memimpin pertempuran perang dan mampu memimpin warga- warganya dalam keadaaan sulit.sehingga kepemimpinannya adalah hasil sebuah prestasi sendiri bukan karena warisan. Dia dikatakana  seorang kepala suku jika terdapat hal-hal sebagai berikut
1)      Keberaniannya dalam pertempuran perang suku
2)      Berani mengambi keputusan dalam keadaan sulit
3)      Kualitas pembicaraan yang baik /kepandaian diplomasi
4)      Bersikap lemah lembut kepada semua orang  tanpa memandang besar kecil satus
5)      Mengetahui segala persoalan masalah baik mapun buruk
          Tugas dari kepalah suku adalah memimpin rapat dalam forum musyawarah adat untuk membicarakan dalam berbagai kepentingan aspek kehidupa mereka seperti politik,ekonomi,keamanan dan upacara-upacara adat.tempat forum musyawara adat biasanya di lakukan di honai laki-laki (sinije) .dalam satu kompleks ada beberapa jenis bangunan merupakan suatu  kesatuan yang tidak dapat dipisahkn dengan sinije .setiap bangunan sesuai dengan jumlah anggota keluarga dan kandang ternak.Susunan rumah adatdalam pemukiman mereka antara lain;1 ) Honai atau sinije adalah tempat tinggal para pria dan tamu laki-laki fungsinya yaitu digunakan untuk tempat bermusyawarah dan kegiatan-kegiatan upacara lainnya.2 ) Honai umum O ebema berfungsi sebagai tempat tinggal para istri-istri dan anak-anak laki-laki yang dibawah umur 8 tahun ke bawah.bentuk bangunan sesuai dengan jumlah anggota keluarga dan biasanya di tambah dengan kandang ternak.Hewan pemeliharaan suku Nduga adalah babi,karena babi merupakan harta kekayaan yang paling tinggi nilainya bagi suku dani maupun secara khusus masyarakat suku Nduga sebab hal tersebut pengaruh besar dalam menentukan status sosial mereka.selain sebagai harta kekayaan,babi juga merupakan sebagai alat maskawin ,membayar masalah dan kepentingan lainya
          Sistem religi sebelum agama Kristen masuk ke wilayah suku Nduga di kabupaten Nduga kecamatan yigi,mereka manganut sistem keperchayaan animisme dan dinamisme  yaitu melakukan dengan ritual-ritual khusus untuk mendatangkan arwah roh-roh nenekmoyang mereka.biasanya tempat ritual ini ditempatkan dalam kebun maupun di belakang honai dan biasanya ada yang di pagari dan ada yang tidak di pagari. Untuk melakukan ritual tersebut biasanya di pesta dengan korban ternak babi.dalam masyarakat suku Nduga. kwal merupakan kekuatan sakti para nenekmoyang yang diturunkan secara turun temurun secara patrineal(diturunkan kepada anak-anak laki-laki).kekuatan sakti ini antara lain,kekuatan menjaga kebun,kekuatan menyebuhkan penyakit, menolak bala,kekuatan menyuburkan tanah dan kekuatan memenangkan dalam perang .untuk menghormati nenekmoyangnya ,mereka membuat lambang yang disebut wesama,sedangkan pindok-ndok merupakan  upacara untuk mengakhiri sebuah peperangan yang telah berselisi antar suku dalam kurun waktu yang cukup lama,dan biasanya dilakukan pindok-ndok agar peperangan tersebut berakhir dan mau hidup berdamai dengan musuh dan untuk memulai kehidupan yang baru.
          Sistem kerajinan dan kesenian masyarakat suku Nduga dapat dilihat dari cara membangun tempat kediaman seperti bentuk bangunan ,simbol bangunan dan bentuk-bentuk ukiran pada senjata tradisional seperti panah, tombak, dan kampak batu .masyarakat suku Nduga mempunyai seni kerajinan khas ,yaitu anyaman kantong(tas) atau terkenal dengan sebutan sum/noken berfungsi untuk isi hasil buruan atau hasil panen kebun dan bayi yang baru lahir .masyarakat suku Nduga juga memilki berbagai peralatan yang terbuat dari kayu maupun bambu, peralatan tesebut antara lain :Mingin,Male,Sop.kapak batu,sebagai alat buruan dan alat perlindungan diri dari musuh dan mereka juga mempunyai tarian tradisional yaitu Ndawi-Ndawi .Ndawi-ndawi biasanya dilakukan pada saat upacara –upacara adat,seperti pesta bakar batu,perkawinan dan upacara lainnya .
          Politik dan kemasyarakatan antara lain:masyarakat suku Nduga senantiasa hidup berdampingan dan saling tolong menolong ,dan memiliki ciri-ciri sebagai sebagai berikut :
1)      Masyarakat Nduga memiliki kerjasama yang bersifat tetap dan selalu bergotong royong .
2)      Setiap perencanaan pendirian rumah,membuka lahan perkebunan baru,perang suku dan pekerjaan serta upacara-upacara adat mereka selalu didahului dengan musyawarah yang dipimpin oleh seorang penata adat atau kepala suku,karena musyawarah merupakan wujud dari persatuan dan kesatuan mereka dalam menyepakati dalam berbagai hal.dan pakean tradisional suku Nduga adalah suwon /koteka sebagai pakean adat pria dibuat dari jenis buah labuh pelihan,dan Sali/ sum ,merupakan pakean adat perempuan terbuat dari kulit kayu rumbia
Cara menyelesaikan masalah masyarakat suku Nduga adalah dengan cara pindok-ndok (makan besama ) ,pindok-pindok dilakukan akhir dari sebuah proses permasalahan perang yang terjadi.permasalahan ini biasanya dilakukan dengan musyawarah agar setiap orang mengetahui atau menjadi saksi bahwa masalah tersebut sudah selesai,sebab permasalahan yang ada belum diselesaikan dengan pindok-ndok berarti masalah tersebut belum tuntas dan kemungkinan akan muncul kembali.setiap permasalah yang muncul tidak di tangani dengan baik dari awal biasanya sangat berpotensi konflik .sebelum melakukan pindok-ndok di dahului dengan perang suku,misalnya pelakunya marga lain,di luar dari kekusaaan mereka sangat berpotensi untuk terjadinya perang itu.permasalahan yang biasanya menimbulkan perang adalah masalah pembunuhan ,perselingkuhan,dan masalah lain yangmempunyai potensi untuk terjadinya perang suku .
          Mata pencarian pokok suku Nduga adalah bercocok tanam ,mereka berani dengan membuka suatu areal huatan dengan membakar lalu mencangkul kemudian menanam jenis-jenis tanaman seperti pisang,umbi-umbian dan sayur-sayuran di lakukan secara berpindah pindah dari daerah ke daerag yang lain (nomaden ) sedangkan buruan di lakukan pada hutan-hutan lembat berupa pencarian kuskus,babi hutan,binatang berkantung dan lain-lain dengan menggunakan senjata tradisional yaitu panah,tombak,dan jerat .  

Sejak tahun 1963 yaitu tempatnya 40 tahun yang lalu kabupaten nduga kecematan mapenduma, memasuki agama kristen melalui para misionaris yang datang dari kanada, Amerika dan Austalia, melalui mereka mengajarkan religi baru, kemudian suku nduga  menerima religi baru(agama kristen) dan menyebar ke kampung-kampung yang lain, berjalannya waktu  semakin dalam  mempelajari religi baru itu kemudian unsur-unsur kepercayaan religi mereka yang asli tidak ada lagi, karena pada saat itu para misionaris memerintakhkan para tokoh-tokoh adat masyarakat bahwa lambang atau simbol-simbol keperchayaan itu dikumpulkan kemudian dibakar. Sejak terjadinya pembakaran simbol-simbol itu hingga sekarang tidak lagi mereka memiliki dan melekukan ritual-ritual terhadap religi mereka yang lama, karena pihak gereja melalui para misionaris membina mereka dan mengajarkan kristen dan cara penerapan dalam kehidupan mereka, serta membangun sekolah-sekolah pendidikan agama kristen dalam bahasa daerah, agar dangan harapan setelah tamat dari sekolah itu kemudian diangkat sebagai pengajar agama kristen dan dilibatkan sebagai pelaku pengijil untuk melanjutkan pengajaran agama kristen.
          Setelah menerima sistem religi baru ini kemudian mereka merasa aman dan tidak lagi ada perang suku ,sehingga permusuhan antar suku atau antar kelompok seperti dulu tidak ada,karena waktu itu parah misionaris menekankan pengajaran melalui dasar-dasar alkitab bahwa untuk hidup berdamai dan saling mengasihi satu sama lain.sehingga sampe saat ini traadisi budaya mereka juga ditranspormasikan kegereja ,seperti budaya musyawarah adat  tidak lagi di lakukan di sinije(honai),sehingga fungsi kewenangan kepalah suku terbatas ,sebab gereja lebih dominan dan tertutup dibandingkan sistem musyawarah yang sebelum benar-benar nampak karena dalam forum musyawra ini lebih mengedepankan transparan dan akuntabilitas kepada anggota .
          Gereja maempunyai sistem secara struktural hirarki atau top down yang lebih baik dalam mempertahankan exsitensinya di tengah –tengah kehidupan mereka ‘,seperti kita ketahui kekuasaan.kepemimpinan,yang ada di gereja dari tingkat yang paling hingga paling bawah antara lain:di tingkat sinode,wilayah,klasis,dewan(daerah) ,dan kembala gereja.kekuasaan gereja ini mempunyai peranan pentng dalam kehidupan mereka,karena fungsi gereja selain menyalankan kebutuhan kerohanian mereka ,mereka juga melakukan fungsi pelayanan publik seperti membangun inprastruktur pendidikan dari tingkat SD,SMP,SMA, dan puskesmas sebagai pelayanan kesehatan masyarakat melalui yayasan kristen ,semua yang mereka lakukan tanpa upah yang mereka dapatkan,tetapi sebagai panggian yang mulia dengan hati nurani.

Kehadiran pemerintah di wilayag ini banyak hal yang mengalami perubahan melalui inovasi yang dilakukan oleh pemerintah .namun yang menjadi persoalan adalah banyaknya mengalami perubahan nilai-nilai budaya lokal yang selama ini mereka peroleh ,melalui sistem pemerintah yang bersifat memaksa misalnya memeggang kekuasan baru,sistyem pemerintah yang bertolak belakang dengan hukum adat dalam menyelesaikan masalah ,pegawai negeri sipil yang datang bekerja di kantor pemerintah atau lembaga-lembaga lain,transmikgrasi yang berlebihan datang ke daerah ini,dan pedaggang-pedaggan kaki lima hingga investor-investor dari luat yang datng denga berbagai latar belakang budaya yang berbedah ,karena akses yang disedikan oleh pemerintah

          Faktor-faktor yang lain adalah adanya pesta demokrasi melalui pemilihan secara langsung yang diselenggrakan oleh pemerintah dalam hal pemilihan umum(pemilu),dan pemilihan kepalah daerah serta anggota legislatif,ini banyak mengalami kesulitan ketika menentukan hak pilihnya karena akan nantinya permasalahan yang terjadi biasanya telah memenangkan dalam pemilihan ini kemudian salah satu calon dipilih dan memeggang kekusaan di daerah sehingga pemimpin tersebut diistimewakan pada pelaku pemilihnya seperti hal,yang terjadi dalam penerimaan anggota pegawai negeri sipil (PNS),perombakan jabatan di tatanan birokrasi baik di jabatan struktural maupun di tingkat yang paling bawah tanpa sebab yang jelas ,kebijakan pembangunan inprastruktur dan pelayanan publik yang lainya ,sehingga kondisi ini sangat diperihatinkan bagi yang mendukung parah calon lain yang tidak terpilih.
          Hal ini menimbulkan satu pertanyaan mereka bahwa ,apakah memang sistem budayah indonesai memang seperti itu,sehingga kondisi ini harus kita mengalami?Sebab hal itu sangat bertentangan dengan budaya yang selama ini mereka anut,sepert yang kita ketahui sebelumnya adalah musyawarah gotong royong,persatuan kesatuan yang kuat ,tidak adanya suatu perbedaan antara satu sama lain,dan mengutamakan kepentingan umum sehingga budaya mereka semakin mengikis dengan dengan kondisi ini.
          Kondisi masyarakat suku Nduga sekarang mengalami perubahan yang sangat signifikan ,dibandingkan dengan kondisi tatanan aslinya.kenyataan yang terjadi adalah adanya tidak berfungsi sinije dan diruang terbuka sebagai tempat melakukan musyawarah guna merundingkan sesuatu untuk melakukan kepentingan dalam berbagai hal ,dan tidak adanya persamaan pendapat persatuan dan kesatuan dalam kelompok,di sebabkan karena adanya faktor persaingan dalam perebutan kepemimpinan di gereja dan perebutan kekuasaan di pemerintahan seperti misalnya,jabatan kepala desa,anggota legislatif daerah dan jabatan eksekutif (kepala daerah atau bupati) pada saat mengadakan pesta demokrasi ini sangat-sangat mudah mempengaruhi mereka sebagai masyarakat awam melalui mekanisme pemilihan yang berbedah dengan budayah mereka,sebab kebiasaan dalam pemilihan kepemimpinan dengan cara musyawarah .sehingga hal ini menimbulkan relasi sesama kelompok maupun dalam hubungan kekeluaragaan ,dan akan menimbulkan konflik baru .
          Kondisi yang lain yang terjadi adalah gereja menjadi ranah politik karena fungsi musyawarah adat di transpormasikan ke gereja sehingga peranan gereja sebagai pelayan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan spiritual mereka,tidak dilakukan berdasarkan panggilan dan talenta semata-mata kepentingan tertentu ,sebab pemerintah kabupaten Nduga sekarang setiap pemimpin gereja di berikan gaji luar dari pegawai negeri sipil.