A.
Peranan Panglima Perang (Ndugire) dalam Penyelesaian Konflik
Filosofi dasar yang berlaku bagi penyelesaian perang
suku masyarakat Nduga khususnya di distrik Yigi adalah bahwa manusia itu
berharga dan sama, nilainya, sehingga kehilangan nyawa harus diganti dengan
kehilangan nyawa pula. Atas dasar ini, syarat bagi penyelesaian sebuah perang
(perdamaian) adalah jumlah korban kedua belah pihak harus sama. Pihak yang
anggotanya menjadi korban atau jumlah korbannya lebih banyak, biasanya akan
berusaha mencari taktik-taktik baru untuk membalasnya, hingga jumlah korban di
kedua pihak sama baru akan ada perdamaian.
Sumber: Photo Konflik
Perang Suku Nduga Mei 2013
Seperti pada umumnya proses
penyelesaian konflik dalam perang suku cara atau Langka–langka yang diambil oleh Ndugire dalam menyelesaikan konflik adalah sebagai berikut:
1.
Negosiasi
Negosiasi secara umum adalah sebuah bentuk
interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling
menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Dan juga negosiasi adalah
suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal yaitu suatu proses tawar menawar antara
seorang pemimpin dengan seorang pemimpin yang lain dengan sebuah kesepakatan
bersama dengan syarat-syarat tertentu. Untuk itu proses negoisasi yang dilakukan oleh masing-masing
pihak yang bersengketa antara lain sebagai berikut:
1. Proses tawar-menawar dengan jalan
berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan
pihak lain.
2. Penyelesaian sengketa secara damai
melalui perundingan antara pihak yang bersengketa.
3. Langkah untuk membangun kesepahaman
terhadap suatu permasalahan.
4. Pembicaraan antara dua pihak atau
lebih baik individual maupun kelompok untuk membahas usulan-usulan spesifik
guna mencapai kesepakatan yang dapat diterima bersama.
Proses penyelesaian konflik di distrik Yigi sendiri
sebagai mana dikemukana oleh Yagobak
Sabu sebagai tokoh masyarakat marga Sabu sebagai berikut :
“Peranan Panglima Perang (Ndugire) dalam penyelesaian konflik.
ketika tidak ada korban nyawa dari
masing-masing pihak, proses negosiasi itu bisa dilakuan dengan syarat-syarat
tertentu yakni membayar denda sesuai dengan permintaan pihak korban, namun
pihak pelaku tidak mampu membayar sesuai permintaan tersebut maka pembayaran
bisa stengahnya saja dan biasanya pihak korban akan menerima hal itu. Mereka berpikir bahwa masalah suatu saat akan datang
pada mereka juga “.(Wawancara Tanggal 18 Agustus 2012 ).
Senada dengan di atas Jago Kogoya mengatakan bahwa:
“Untuk menyelesaikan konflik selain
dengan perang untuk mempertahankan identitas diri dalam kehidupan suatu
komunitas. Juga dengan melalui negosiasi yaitu tawar menawar membayar denda
sesuai dengan jumlah kerugiannya, jika
salah satu pihak pelaku mampu membayar sesuai dengan tawaran harga tersebut
maka masalah bisa diselesaikan dengan aman.”. (Wawancara Tanggal 23 Aguatus
2012 ).
Dari pendapat di atas, peneliti dapat
kemukan bahwa desa Ekilapok distrik Yigi
dalam penyelesaian konflik Panglima Perang Ndugire
proses negosiasi bisa dilakukan jika tidak ada korban jiwa dari kedua belah
pihak. Jika ada korban dari salah satu
pihak maka setelah sama-sama ada korban seimbang maka negosiasi itu bisa
dilakukan untuk berdamai.
2.
Konsiliasi
Konsiliasi berasal dari kata Latin conciliatio atau perdamaian yaitu suatu
cara untuk mempertemukan pihak-pihak yang berselisih guna mencapai persetujuan
bersama untuk berdamai. Dalam proses pihak pihak yang berkepentingan dapat
meminta bantuan pihak ke tiga. Namun dalam hal ini pihak ketiga tidak bertugas
secara menyeluruh dan tuntas. Ia hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan
yang dianggapnya baik kepada kedua pihak yang berselisih untuk menghentikan
sengketanya.
Contoh kasus yang terjadi adalah perdamaian
perang suku di distrik Yigi yang hadir dalam pertemuan konsiliasi ialah wakil
dari masing-masing marga serta pihak
orang ketiga yaitu, jurudamai dari pihak pemimpin gereja dan Pemerintah Daerah
(Pemda). Langkah-langkah yang diambil adalah memediasi kepada kedua belah pihak
yang berkonflik dengan masukan-masukan dan pertimbangan agar kedua belah pihak
masing-masing bisa terima. Tetapi yang harus mengambil keputusan untuk berdamai
adalah pihak yang sedang konflik. Sebagaimana dikemukan oleh Ariggirok Kogoya
sesepuh dari marga Kamgiriggi sebagai berikut :
“Ndugire (Panglima Perang) adalah orang yang berani dalam
memimpin pertempuran perang dan mampu memimpin warga-warganya dalam keadaan
sulit. Sehingga setiap marga memiliki
kepala adat dan setiap kepala itu berperan sebagai pemimpin atau komandan, oleh
karena itu dalam peperangan kepala pemimpin perang/Ndugire tersebut tidak bisa dibunuh, sebab ketika panglima perang
tersebut dibunuh maka persoalan masalah tidak bisa diselesaikan dalam jangka
waktu yang relatif dekat. Dan ketika dalam peperangan untuk menyelesaikan
masalah yang bisa menyampaikan informasi kepada pihak lawan adalah panglima-
panglimanya yang ada hubungan keluarga dengan pihak lawan”. (Wawancara Tanggal
28 Agustus 2012 ).
Dengan senada di atas ini Anini Sabu
sebagai Hansip (penjaga keamanan masyarakat ) mengatakan bahwa :
“ Peranan Ndugire dalam penyelesaian konflik dia tidak bisa menjadi penengah
melainkan memiliki posisi sama dengan yang lainnya. Artinya, dia sama halnya dengan seorang
komandan dalam pertempuran perang, sehingga peranannya ketika berperang tetap
sebagai musuh oleh pihak lawan namun dia tidak bisa dibunuh hanya melukai saja.
Sebab ketika Ndugire dibunuh maka
perang tidak akan selesai dalam waktu yang cepat dan bisa berkonflik hingga
berbulan-bulan lamanya.” (Wawancara Tanggal 22 Agustus 2012 ).
Dari pendapat diatas, peneliti dapat
kemukakan bahwa seorang (Ndugire)
memiliki kekuasaan besar untuk penyelesaian masalah namun untuk memberikan
masukan kepada seorang Ndugire yaitu
melalui pertemuan secara rahasia oleh semua keluarganya dan mempertimbangkan
hal-hal yang menyangkut dengan norma–norma dan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat
setempat. Setelah itu, Ndugire
akan melakukan negosiasi untuk penyelesaian masalah.
Kemudian tentang larangan membunuh Ndugire, didasarkan atas pemikiran bahwa
ujung dari sebuah perang pasti ada proses penyelesaian. Seorang Ndugire adalah
pemegang peran kunci dalam proses penyelesaian konflik. Sebab Ndugire yang akan berbicara dan
mengamankan situasi, Ndugire jugalah
yang akan memberikan ganti-rugi dengan melakukan “bayar kepala” para prajurit, baik di pihaknya maupun dipihak musuh yang
menjadi korban perang. Khusus untuk persoalan bayar-kepala ini, ada dua kondisi
yang menjadi prasyarat: Petama, bayar-kepala akan dilakukan kepada pihak musuh
jika pihak musuh menyepakati berdamai meski jumlah prajurit yang mati di pihak
musuh berjumlah lebih. Kedua,
bayar-kepala akan dilakukan hanya kepada prajurit yang sebenarnya adalah
orang-orang yang bergabung karena rasa solider, meski mereka bukan penyebab
peperangan.
Selain hukum perang dan alasannya
seperti digambarkan di atas, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa
pada prinsipnya, menurut orang Nduga, manusia itu saling membutuhkan dan ada
ketergantungan hidup antara satu sama lain, sehingga setelah perang berakhir
pun, pasti mereka hidup saling membutuhkan, saling memberikan anak perempuan
untuk diperistri diantara para pemuda suku Nduga, berbisnis kembali, bersahabat
dan sebagainya. Karena itu, tidak heran jika ketika perang telah lama usai,
mereka yang tadinya saling bermusuhan dalam sebuah perang, dapat berkumpul
kembali dalam sebuah diskusi atau senda-gurau. Bahkan dalam kesempatan itu,
biasannya ada salah seorang yang tanpa beban dapat mengakui kepada orang lain
(temannya) yang ada di situ juga, bahwa dirinya yang memanah sehingga
menimbulkan bekas luka pada temannya itu, lalu setelah mengetahui hal itu, dua
orang itu malah saling tertawa (merasa lucu), tanda tidak ada dendam di antara
mereka. Kebiasaan seperti ini biasanya terjadi dalam masyarakat suku Nduga
setelah melakukan peperangan di antara mereka.
Hal tersebut bisa terjadi karena dalam
peperangan antarsuku biasanya dalam satu keluarga tidak semua orang menjadi
lawan melainkan mereka akan berbagi
orang yaitu, yang lain ikut pihak sebelah dan yang lain ikut pihak sebelah.
Misalnya, perang antarkeluarga dari dari sang ayah dan sang ibu secara otomatis
anak–anak
tersebut ikut pihak dari keluarga dari ayah dan yang lain akan ikut pihak dari
sang ibu. Tujuannya agar bisa
bernegosiasi dan masalah bisa selesaikan dengan cepat. Namun ketika sudah dalam
peperangan tidak akan ada lagi istilah keluarga. Yang ada hanya musuh, ibarat
orang bermain dalam pertandingan sepakbola.
3. Koersi
Koersi ialah
suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan paksaan fisik atau pun psikologis. Bila paksaan psikologis tidak berhasil,
dipakailah paksaan fisik. Pihak yang biasa menggunakan
paksaan adalah pihak yang kuat, pihak yang merasa yakin menang, bahkan sanggup menghancurkan pihak musuh. Pihak inilah yang menentukan
syarat-syarat untuk menyerah dan berdamai yang
harus diterima pihak yang lemah. Cara semacam ini
juga sering dilakukan oleh dalam penyelesaian perang suku. Jika pihak yang merasa menang akan menawarkan solusi untuk
selesai dengan membayar denda, bila pihak lawan tidak mau tetap melawan maka solusi yang diambil oleh
pihak yang menang adalah menyerang dan menghancurkan semua milik harta dan
benda hingga musuh melarikan diri ke tempat kerabat suku yang lain. Sebagaimana
dikemukakan oleh Kesanggen Gwijangge sebagai berikut:
“Ketika dalam perang suku musuh tidak mau menerima tawaran
yang ditawarkan oleh pihak yang menjadi korban untuk membayar denda, biasanya cara yang dilakukan pihak yang merasa korban dengan kekuatan pasukannya adalah mengancurkan semua milik lawan yakni, hewan, rumah, anak kecil, ibu-ibu dan orang tua, hingga yang lain melarikan diri ke wilayah kerabat suku yang lain untuk
perlindungan diri dari ancaman dan mereka tidak akan kembali lagi ke daerah mereka.” (Wawancara Tanggal 11 September 2012).
Senada dengan di
atas Seky Gwijangge mengemukakan bahwa:
“Penyelesaian dengan cara kekerasan yang pernah terjadi
dalam perang suku Nduga adalah perang Suguru di distrik Yigi dalam sejarah suku Nduga pertama dan terakhir ”Suguru Wim”. Perang ini menewaskas
banyak orang dan yang lain melarikan diri ke daerah lain, seperti: Intan Jaya, Timika, Puncak Jaya, Puncak Papua, Wamena hingga ke daerah yang lain”.(Wawancara Tanggal 15 Oktober 2012).
Dari pendapat di atas peneliti
dapat kemukakan bahwa proses penyelesaian dengan cara kekerasan tersebut
sebagai bentuk akumulasi dari kekecewaan dari pihak yang merasa korban lalu
membalas dengan menghancurkan harta
dan benda. Namun cara seperti ini hanya bisa
dilakukan jika pihak musuh tidak mau menerima beban yang diberikan oleh pihak korban
dan pihak pelaku tetap mengotot untuk melawan. Dan
kemungkinan masalah bisa timbul kembali di daerah yang lain, seperti: masalah
perempuan dan jabatan.
B. Kelebihan Penyelesaian Konflik oleh Panglima Perang
(Ndugire)
Setelah terjadi konflik, adapun
kelebihan yang dimiliki oleh Ndugire dalam penyelesaian konflik yaitu dikenal dengan cara pindok-ndok atau
(makan bersama). Pindok-ndok ini dilakukan akhir
dari sebuah proses permasalahan perang yang terjadi agar semua orang menjadi saksi bahwa
masalah sudah selesai dan tidak ada lagi. Penyelesaian ini biasanya dilakukan dengan musyawarah agar
setiap orang mengetahui atau menjadi saksi bahwa masalah tersebut sudah selesai. Sebab jika permasalahan
yang ada belum diselesaikan dengan pindok-ndok
berarti masalah tersebut belum tuntas dan kemungkinan akan muncul kembali. Setiap permasalah
yang muncul tidak di tangani dengan baik dari awal biasanya sangat berpotensi
konflik.
Kelebihan yang dimilki oleh seorang Ndugire yaitu sebagai berikut:
1. Berani bertanggung jawab masalah yang
dibuat dan tidak lari dari masalah.
2. Berani mengambil keputusan dalam
keadaan sulit
3. Kualitas pembicaraan yang baik
4. kepandaian diplomasi
5. Bersikap lemah lembut kepada semua
orang tanpa memandang besar kecil status
6. Mengetahui segala persoalan masalah baik mapun
buruk.
7.
Semua kerugian materil maupun
nonmateril baik korban dipihaknya maupun pihak musush menjadi tanggung
jawabnya.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Nus Murib sebagai berkiut:
“ Ndugire adalah
seorang yang memilki masalah sehingga untuk melakukan negosiasi dengan Ndugire di pihak
musuhnya adalah wene wile (pemberi informasi). Wene wile berfungsi sebagai
pemberi informasi untuk mengetahui masing-masing pihak bagaimana masalah itu
bisa ditanggani dengan baik. Kelebihan seorang Ndugire yaitu berani bertanggung jawab
tidak lari dari dalam mengadapi masalah.”
( Wawancara
tanggal 20 oktober 2012 )
Senada dengan di
atas Yeki Kogoya mengemukakan sebagai
berikut:
“Cara mengakhiri
konflik yaitu dengan cara pindok-ndok (makan bersama ) oleh
masing-masing Ndugire sebagai tanda bukti bahwa masalah sudah
selesai dan tidak akan terjadi masalah. Setelah melakukan dengan cara pindok-ndok saat itu juga lawan menjadi kawan dan makan minum bersama
sambil bercanda antara satu dengan yang lainnya. (Wawancara tanggal 22 mei 2013).
C.
Kelemahan Penyelesaian Konflik oleh Panglima
Perang (Ndugire)
Semua masyarakat percaya bahwa perang suku baru akan
berhenti ketika pihak-pihak yang bertikai melakukan pembayaran ganti rugi
kepada pihak korban disertai upacara bakar batu. Pengakuan terhadap
nilai-nilai kultural serta digunakannya nilai-nilai tersebut untuk
menyelesaikan perang suku, tentu merpakan suatu hal yang sangat penting dan
bermanfaat. Terbukti, suatu perang suku baru bisa dihentikan ketika pokok
perang membayar ganti rugi serta upacara bakar batu dilaksanakan. Akan tetapi
pola penanganan semacam ini punya satu kelemahan
yang mendasar, yaitu pola
penanganan bersifat parsial. Artinya, penanganan semacam ini hanya efektif
untuk satu kasus. Ketika kasus yang lain muncul maka perang akan muncul
kembali.
Kelemahan ini sudah terbukti dalam
sejarah. Meskipun perdamaian secara adat telah sering dilakukan untuk
menghentikan dan mendamaikan pihak-pihak yang terlibat dalam perang suku, akan
tetapi ketika masalah yang baru muncul maka perang kembali terjadi. Kenyataan
seperti ini memperlihatkan bahwa upacara membayar ganti rugi dan upacara bakar
batu bukan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat preventif. Padahal,
ketika perang dilihat sebagai sesuatu yang negative, diperlukan suatu mekanisme
penyelesaian perang suku yang bersifat preventif sehingga perang tidak terus
menerus terulang. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Abraham Kogoya
sebagai berikut:
“ Satu kelemahan
yang dimiliki oleh penyelesaian konflik dengan proses bakar batu adalah
penyelesaian hanya satu kasus. Ketika ada masalah baru maka akan
seperti yang sudah diterangkan di atas yakni akan lakukan bakar lagi. Artinya
masalah penyelesaian dengan bakar batu hanya satu kasus saja (Wawancara Tanggal 29 Oktober 2012 ).
Senada dengan di atas Anini Sabu
mengemukakan sebagai berikut:
“Ketika seorang Ndugire tidak bisa bertanggung jawab dengan semua peristiwa itu lalu tidak
membayar denda maka dia dan semua keturunan akan mati dengan sendiri. Hal ini sudah
terbukti dan menjadi kepercayaan masyarakat, oleh karena itu apapun yang terjadi seorang Ndugire harus
bertanggung jawab
dengan masalah yang dia berbuat” (Wawancara Tanggal 23
Agustus 2012).